Serba-Serbi Perjalanan Mudik 2009
Surabaya, 18 September 2009 - Tradisi mudik merupakan kegiatan yang tidak akan terlewatkan bagi sebagian besar masyarakat, setelah sebulan menjalankan kewajiban puasa Ramadhan maka tibalah saat yang ditunggu-tunggu untuk bisa berkumpul dengan orang tua, saudara, kerabat dan handai taulan guna mempererat tali silaturrohim, maka sudah bisa dibayangkan semangat untuk mudik sangat menggebu walau untuk mewujutkan hal tersebut diperlukan perjuangan yang tidak ringan mulai dari persiapan waktu libur atau cuti yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, modal yang tidak sedikit, berdesak-desakan karena jalanan macet dan masih banyak lagi cerita seputar mudik.
Bagi keluargaku mudik merupakan suatu kewajiban kecuali bila ada alasan yang lebih penting, walau tujuan mudik tidak terlalu jauh hanya ke kota minyak Cepu dan kota tahu Kediri namun dengan kondisi jalan yang padat dan jalan bergelombang memerlukan ekstra hati-hati agar selamat sampai di tujuan. Kami memulai perjalanan dari Surabaya Jum'at pagi dengan harapan jalan belum terlalu padat dan bisa sampai di Cepu sebelum sholat Jum'at, ternyata cukup ampuh perjalanan cukup lancar hanya kendaraan R2 yang mendominasi jalan, banyak pengendara R2 yang kurang disiplin dalam berlalu-lintas dengan berjalan zig-zag bahkan banyak yang terlalu ke kanan sehingga memakan jalur mobil belum lagi ditambah dengan barang bawaan yang ekstra banyak tanpa mengindahkan keselamatan, perjalanan juga sedikit terganggu dengan adanya beberapa pasar tumpah, pengunjung yang ramai mungkin belanja untuk persiapan Lebaran. Pasar Babad yang biasanya semrawut ternyata lancar mungkin karena masih jam 07.30 pagi, baru di pasar Baureno Dokar, sepeda motor tumplek bleg sehingga jalan tersendat dan beberapa pasar hampir sama keadaannya, setelah menyusuri jalan bergelombang Bojonegoro ke arah Cepu jam 09.30 sampai juga di rumah dengan udara yang sangat panas bahkan lebih panas dari kota Surabaya yang terkenal cukup panas.
Setelah menuntaskan puasa hari yang ke 29 seusai magrib masih bertanya-tanya apakah hari minggu masih berpuasa, walau sedih ditinggalkan bulan Ramadhan yang penuh ampunan lega juga bisa menyelesaikan puasa secara penuh, Pada jam 19.00 malam ada pengumuman dari menteri agama bahwa lebaran jatuh hari Minggu seketika suasana menjadi riang gembira terutama anak-anak. Di masjid, langgar, mushola dan surau langsung dikumandangkan Takbir dengan menyebut kebesaran Illahi. Pagi sekali sudah banyak warga yang berduyun-duyun menuju masjid untuk melaksanakan sholat Idul Fitri dengan dilanjutkan bersalam-salaman, barulah saat yang di tunggu tiba dengan duduk berjajar di ruang tamu untuk menunggu giliran bersalam-salam antar saudara, tangis bahagia mengiringi acara jabat tangan dan anak-anak sudah menunggu moment berikutnya pembagian uang sangu lebaran, tidak membedakan besar kecil mendapatkan jatah yang sama, moment yang sayang untuk dilewatkan dan tidak akan didapatkan di luar lebaran.
~ Raut wajah anak-anak yang bahagia
Tradisi saling mengunjungi masih terasa walau tidak seramai tahun-tahun sebelumnya, secara bersama keluarga besar kami mengunjungi sanak saudara dan kerabat, bahkan ketika memasuki rumah yang di kunjungi sering tidak muat karena banyaknya rombongan, namun tidak masalah tetap saja bahagia karena bisa ketemu saudara walau mungkin hanya setahun sekali bertepatan hari lebaran. Usai acara silaturohhim rasanya kurang lengkap kalau tidak mencicipi kuliner khas daerah Cepu antara lain tempe mendoan, serabi hangat, aneka bakso, soto daging Bondet, sate ala Blora, ayam goreng kremes, bubur campur dan masih banyak lagi yang bisa dipilih, memang di setiap kota hampir semua jenis makanan tersebut ada namun dengan resep yang beda akan rasanyapun jadi beda.
~ Nostalgia masa kecil
Pada hari kedua lebaran jam 13.00 siang kami melanjutkan perjalanan ke Kediri dengan jalan sangat bergelombang, sebagian jalan antara Padangan ke kota Ngawi sangat parah jalan kelihatan halus namun kalau tidak waspada mobil bisa terpental jadi kesabaran kita untuk tidak terlalu memacu mobil diuji disini, dan selapas Ngawi melewati Karangjati, Caruban hingga Saradan lancar dari Saradan ke arah kota Nganjuk sudah tradisi setiap tahun selalu padat bahkan cenderung merayap dan macet, lepas dari kepadatan di Nganjuk menuju kota Kediri tepatnya di Gringging sangat lancar, sehingga tepat jam 16.00 sudah sampai dirumah dengan udara yang sangat berbeda dengan di kota sebelumnya, disini tiupan anginnya sangat keras karena memang terkenal kota angin, bahkan di malam hari suara angin terdengar kemerosok meniup pepohonan, cuaca yang cukup sejuk dan dingin sangat nyaman untuk beristirahat.
~ Main Kembang mengasyikan
Tradisi yang sudah turun-temurun masih sangat kenthal di pedesaan di wilayah Gringging bahkan Kediri, acara silaturrahim dengan saling mengunjungi masih sangat ramai, mengunjungi kerabat yang rumahnya di desa seberang cukup jauh tidak menyurutkan niat. Kalau di amati yang membedakan lebaran jaman dahulu banyak anak-anak yang memakai sarung dan songkok namun lebaran sekarang sudah banyak yang pakai celana Jean tanpa songkok yaahh... mungkinkah itu karena pengaruh budaya dari kota. Main petasan dan kembang api masih menghiasi di malam hari lebaran, anak-anak dengan riang menikmati bunyi petasan dan percikan api dari kembang api yang dibakar.
Puas menikmati perjalanan lebaran pada hari Rabu Jam 06.00 pagi kami putuskan untuk balik ke Surabaya dengan pertimbangan jalan belum padat yang biasanya daerah Jembatan Mengkreng Kertosono sering mampet dan pasar Mojoagung sering meluber karena orang menyeberang namu karena di antisipasi berangkat pagi semuanya berjalan lancar jaya dan cenderung masih lengang. Dari seluruh rangkaian kegiatan Mudik Lebaran 1 Syawal 1430 H. dapat dipetik makna bahwa untuk mempererat tali silaturrohim dibutuhkan niat yang kuat dan perlu pengorbanan serta perjuangan yang keras, kadang walau lokasi berdekatan kalau tidak ada niat niscaya tali silaturrohim akan terputus, semoga di hari yang Fitri ini Allah SWT. selalu memberi bimbingan dan ampunan kepada kita semua.